Saturday 7 December 2013

Cinta rasa VANILLA
Oleh: Ihya Nur Syamsiani

Minggu ini adalah minggu yang kesekian kalinya aku jomblo. Semenjak putus dari Hans, aku sulit menemukan pengganti yang tepat. Aku rasa hanya Hans yang mampu membuka hatiku. Sayang, keberadaannya yang jauh membuat kita memutuskan untuk berpisah. Ya, Hans pindah sekolah di Kanada. Mengikuti kepindahan orang tuanya. Hampir 2 tahun menjalin hubungan, tiba-tiba harus berpisah karena jarak.OMG! sangat tidak adil. Tapi, tetap saja harus aku terima walau hati ini berontak. Sungguh! Aku masih ingat betapa mudahnya dia memutuskanku saat terakhir kita bertemu di bandara. Menjengkelkan.

          “Vanilla, mungkin ini berat buat kamu..” kata Hans mengawali pembicaraan.
          “Memang kenapa?” tanyaku polos.
          “Lebih baik kita putus saja ya?”

Bagai tersambar petir di siang bolong aku mendengar penuturannya.

          “Apaaaaa??? Kamu serius??”
          “Ya. Kita terpisah beribu-ribu kilometer, Van. Aku nggak mau kamu tersiksa dengan keadaan ini..”
          “Ta..ta..pi.. kita kan masih bisa telpon-telponan..” aku mulai terisak.
          “Kanada terlalu jauh untuk menyatukan hubungan kita. Lagipula aku nggak tahu sampai kapan bakal di sana. Aku mohon, Van. Demi kebaikan kita berdua.”

Aku terdiam cukup lama.

          “Jujur aku nggak rela kita putus. Mungkin, kata-kata kamu ada benarnya juga. Kanada terlalu jauh untuk menyatukan hubungan kita. Jadi, memang lebih baik kita akhiri hubungan kita sampai di sini.”
          “Makasih.. aku berangkat ya..”

Hans mulai berbalik arah. Berjalan menjauh dari tempatku berdiri. Semakin jauh dan menghilang di balik eskalator. Sementara aku?? Masih mematung di tempat.

~*~

Hari-hari kulalui hanya bersama Hanna dan Lyly. Dua sahabat yang setia mendengar keluh kesahku tentang Hans. Mulai dari awal aku naksir dia sampai putus dengan tiba-tiba. Mungkin karena kasihan, mereka mencoba mencarikanku seorang pengganti Hans. Tak satupun yang menarik minatku. Hingga pada suatu hari, mereka menyuruhku untuk mencari lewat internet. Semula aku tak setuju. Tapi, mereka terus saja meyakinkanku hingga aku pun menyerah. Mengiyakan meski hati tak merestui.

Hari ini, aku dan Hanna berada di rumah Lyly. Mencoba ide konyol nan gila yang mereka ciptakan. Lyly yang memang hobi berwisata maya, langsung saja membuka situs jejaring sosial dan akun chat. Dengan lincah, jarinya-jarinya menekan tuts-tuts keyboard tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Aku yang masih terdiam di sebelahnya jadi sedikit merasa takjub dengan kepiawaian yang dimilikinya. Woow!

          “Nih! Udah gue buatin akun chat. Nick name loe VANILLA_17. Sekarang loe tinggal milih diantara nama-nama yang ada di daftar.” perintah Lyly.
          “Ehm.. oke..”

Aku beranjak menggantikan posisi Lyly di depan layar. Lumayan kaget, karena belum apa-apa sudah banyak nick-nick yang masuk mengajak kenalan. Langsung saja aku balas sapaan-sapaan mereka satu per satu. Sejauh ini belum ada yang menarik hati.

          “Gimana Van?? Udah ada yang loe taksir??” tanya Hanna menghampiriku.
          “Belumlah..” jawabku tanpa ekspresi.
          “Loe kenapa sih belum bisa lupain Hans??” sela Lyly mengalihkan pembicaraan.
Aku menoleh ke arahnya. Berusaha menjawab lewat tatapan mataku yang tajam.
          “Gue nggak bisa Ly..”
          “Loe itu terlalu bodoh apa pura-pura bego?? Udah tahu diputusin dengan tidak hormat, masih aja nggak bisa lupa. Loe nggak nyadar ya Van?? Banyak cowok ngantri buat loe..” beber Hanna ketus.
          “Tapi Na.. Hans itu yang pertama bagi gue.. gue udah dua tahun sama dia..”
          “Gue tahu nggak semudah itu lupain seseorang.. paling nggak, loe bisa realistis dikit kek.. nggak selamanya hati loe tertutup untuk satu orang yang belum tentu kembali sama loe.. coba deh buka hati loe buat orang lain..”

~*~

Buka hati buat orang lain?? Kata-kata itu masih terngiang jelas di benakku. Seolah menyindir pikiranku bahwa suatu saat nanti Hans pasti kembali. Ya, aku kini menyadari bahwa aku terlalu terpaku pada keinginan untuk memiliki Hans. Keinginan menggebu hingga membuatku lupa bahwa kini dia telah jauh di seberang sana. Tak pernah sekalipun dia menghubungiku semenjak terakhir kali kita bertemu. Jujur, aku merindukannya. Tapi kini aku mengerti arti dari semua ini. Hans ingin melupakanku.

~*~

Minggu terakhir sekolah telah usai. Libur panjang sudah menanti di depan mata. Kami bertiga berencana menghabiskan liburan dengan menginap di vila milik Om Bayu. Papa Lyly. Pagi ini, kami berangkat diantar oleh Mang Supri. Sopir pribadi keluarga Lyly. Dan selama kami di sana, beliaulah yang akan mengantar sekaligus menjadi penunjuk arah.

Kedatangan kami disambut oleh suami istri penjaga vila, Mang Wiryo dan Bik Cici. Vila seluas 2 hektar di kawasan Puncak ini terhitung lumayan megah diantara vila yang lain. Dilengkapi dengan gazebo, kolam renang, taman bunga, dan kebun buah menjadikan vila ini sering sekali disewa untuk pesta. Tak heran jika pundi-pundi rupiah tak henti-hentinya mengalir ke kantong Om Bayu. Itu menjadikan salah satu sebab Lyly tak pernah kanker saat akhir bulan. Uang jajannya selalu berjalan mulus bak jalan tol. Tak seperti aku dan Hanna, selalu habis dulu untuk bayar buku.

~*~

Sore ini, aku pergi keluar sendiri. Hanna dan Lyly sedang tertidur pulas. Tak tega membangunkan mereka. Berbekal petunjuk arah dari Mang Supri, aku berangkat menyusuri jalanan. Masih asri dan hijau. Cocok untuk menghilangkan stres dan kejenuhan. Entah sudah berapa lama aku berjalan, tak terasa hari mulai malam. Wah, harus segera balik nih! Tapi, yang terjadi sekarang adalah aku lupa arah jalan pulang! Ku ambil handphone yang ada di saku celana. Sial! Nggak ada sinyal lagi! Raungan burung-burung hantu semakin jelas. Aku takut. Tanpa terasa bulir air mataku mulai berjatuhan.

~*~

Hampir setengah jam aku menangis. Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang. Jantungku berdegup kencang. Siapa gerangan? Ku balikkan badanku perlahan. Seorang lelaki muda dengan rambut cepak tersenyum padaku.

          “Loe siapa?” tanyaku takut.
          “Gue Rion. Loe?”
          “Gue Vanilla.”
          “Ngapain loe di sini mewek gitu? Nggak tahu jalan pulang ya?”
          “Iya.”
          “Tenang aja.. Gue bakal bantu loe. Loe nginep di mana?”
          ”Di Vila Address, emang loe tahu?”
          “Ohh.. gue tahu kalo vila itu. Kebetulan vila gue juga deket sana. Yuk pulang!”
Sejenak ku amati penampilannya. Memastikan bahwa dia benar-benar akan menolongku.
          “Udah ayo.. loe nggak usah takut sama gue. Gue nggak bakal ngapa-ngapain loe kok.”

Akhirnya, aku pulang bersama Rion. Sepanjang jalan dia bercerita tentang siapa dirinya yang ternyata juga sedang liburan bersama keluarganya. Aku mulai terbius dengan sikap dan senyum manisnya. Wajahnya yang tampan ditambah kacamata minimalis semakin membuatku terpesona. Aku rasa pintu hatiku yang membeku kini mulai mencair karena Rion. Secercah harapan muncul dibalik pikiranku untuk menjadikan Rion sebagai pengganti Hans. Semoga.

~*~

          “Ya ampuunn Vann... loe dari mana aja??” sambut Hanna dan Lyly panik.
          “Gue tadi jalan-jalan, trus gue nggak tahu jalan pulang. Untung ada Rion. Dia yang udah nganter gue ke sini.” jawabku sambil melirik ke arah Rion.
          “Ehm.. big thanks ya Rion... udah nganter Vanilla pulang. Ohya, gue Lyly. Ini Hanna. Sekali lagi makasih ya..” ujar Lyly salting.
          “Iya.. sama-sama. Gue balik dulu ya semua.” pamit Rion.
          “Tunggu Rion!”
          “Ya Van??”
          “Makasih ya.. gue nggak tahu kalo nggak ada loe.”
          “Makanya kalo mau jalan, ajak temen. Jangan sendiri. Loe bisa kok ajak gue. Just call me.. ok?”

~*~

Dua minggu telah kulalui bersama Rion. Bersamanya, kembali kutemukan siapa diriku. Tiap kali bertemu selalu saja ada topik yang membuatku tak bisa menahan tawa. Aku akui, Rion pintar merubah moodku menjadi ceria. Dia sering membawaku ke tempat-tempat yang eksotis. Hampir semua tempat telah aku jelajahi. Berkat Rion.

Akhirnya hari yang aku hindari tiba juga. Kami bertiga harus kembali ke Jakarta. Kembali menjadi anak sekolah yang berkutat dengan buku dan tugas. Dan tentu saja harus berpisah dengan Rion. Haruskah menunggu liburan semester depan untuk bertemu dengannya? Sungguh! Aku sudah menemukan separuh nyawaku yang hilang. Rion. Ya, hanya Rion yang mampu menggantikan Hans.

~*~

Tiga bulan sudah aku lewati tanpa ada kabar dari Rion. Nomornya non aktif. Apa dia berusaha pergi dan menghilang begitu saja dari kehidupanku? Aku terlalu bodoh untuk mengharapkannya. Hanya sesal yang bergelayut merasuk jiwa. Aku menyesal telah mengenalmu, Rion.

~*~

Minggu ini sama seperti minggu sebelumnya. Sendiri dan kesepian. Papa dan Mama sedang ada acara di luar kota. Sementara Hanna dan Lyly mengikuti rapat kegiatan ulang tahun sekolah. Kuputuskan untuk menonton film di ruang tengah. Lagi asyik-asyiknya ada di bagian klimaks, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Arggh! Siapa sih?!! Ku tekan tombol pause. Meluncur menuju pintu depan.

Rasa kaget dan tak percaya memenuhi rongga dadaku.

          “RIONN?????” jeritku setengah memekik.
          “Hi,, Van..”
          “Loe kok bisa tahu rumah gue?”
          “Gue tahu dari Mang Wiryo.”
          “Loe kemana aja selama 3 bulan ini??”
          “Gue di Aussie.. sekolah gue di sana.. Maaf, kalo gue nggak pernah ngasih kabar ke loe.”
          “Trus ngapain loe balik ke Indonesia?? Pake acara ke rumah gue lagi. Kirain udah lupa.”
          “Gue.. kangen sama loe, Vanilla Andritama...”

Rasa bahagia menjalar di seluruh urat nadiku. Tak menyangka Rion akan memberi kejutan dibalik kesendirianku. Rion memang pintar. Pintar membuatku jatuh ke dalam hatinya.
~*~

===================================================================
PENULIS
aku adalah seseorang yang suka mengekspresikan pikiranku melalui tulisan. tulisan yang sederhana. diary adalah temanku.. buku adalah imajiku.
terima kasih sudah menyempatkan membaca sepercik cerpenku.
salam.

Ihya Nur Syamsiani
FB : icemocca@rocketmail.com
===================================================================
Categories: , , ,

0 comments:

Post a Comment

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!